Menyemai Akhlaq Rasulullah SAW
Wednesday, December 12, 2007
Tak ada akhlaq sebaik akhlaq nya Rasulullah. Beliau tidak gila harta, tidak rakus, tidak licik, tidak culas, tidak khianat dan tidak mencekik. Beliau juga hidup sederhana. Menyelami akhlak Rasul, ibarat kita menyelami samudra, terhampar luas seakan tak bertepi, indah mengagumkan dan menyimpan bulir-bulir mutiara yang amat berharga. Semakin kita mendalami, semakin kita dibuat terpesona oleh keanekaragaman ikan, plankton dan karangnya. Begitu juga akhlak
Nabi, semakin kita mengkaji lebih dalam, semakin kita terbuai oleh kemuliaan yang senantiasa memancar dari sukmanya. Betapa hati terasa sejuk nikmat dan damai, jika beliau hadir di tengah kita. Pantas kiranya jika Allah SWT memuji dalam firman-Nya yang berbunyi, "Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung." (QS. Al Qalam: 04)
Dalam kamus Al Muhith, akhlak menurut bahasa adalah tabiat, watak, harga diri dan agama. Ia merupakan gambaran batin seseorang, yang meliputi jiwa, sifat-sifat jiwa dan makna-makna khusus dari jiwa tersebut. Jika akhlak atau moral erat kaitannya dengan batin, maka pengejawentahan lahirnya adalah prilaku. Akhlak yang baik akan mencerminkan prilaku yang baik pula dan sebaliknya akhlak yang buruk akan mencerminkan prilaku yang buruk. Jadi,
baik atau buruknya prilaku kehidupan manusia sangat tergantung pada hati yang ada di balik dadanya.
Dan inilah yang menjadi modal utama bagi keutuhan sebuah bangsa. Kita hampir sepakat bahwa ketidakstabilan ekonomi, sosial, hukum dan politik adalah akibat moral bangsa kita yang anjlok, runtuh dan tercabik-cabik. Korupsi yang menggurita, kriminalitas yang terus mendera, pornografi dan pornoaksi yang menyampah adalah potret bangsa yang menyesakkan dada. Tak heran jika musibah terus menghampiri kita. "Dan musibah apa saja yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri." (QS. Asy Syura: 30). Siklus alam yang biasanya mendatangkan berkah justru menjadi bencana. Lalu apakah bangsa kita akhirnya akan tergulung sebagaimana bangsa 'Aad?
Seorang penyair kenamaan, Ahmad Syauqi pernah mendendangkan lagunya yang berbunyi, "Kekekalan suatu bangsa itu tergantung pada akhlaknya, apabila akhlak mereka hilang maka akan lenyaplah suatu bangsa". Wahai saudara-saudaraku, kita masih memiliki banyak kesempatan untuk membangun kesadaran diri masing-masing sebelum turun azab yang lebih besar lagi. Selama kita masih mengakui Muhammad sebagai Rasul teladan kita, maka percikan harapan yang menggantung nun jauh di sana akan kita raih. Dengan segenap rindu dan cinta, cahaya Muhammad harus kita tangkap lalu kita pantulkan ke bumi tercinta ini yang kering akan nilai-nilai spiritual (spiritual of values). Mencintai Rasulullah tidak cukup dengan bershalawat sebanyak mungkin, tapi berupaya bagaimana meneladani akhlak mulia beliau yang pernah dipraktikkan dalam kesehariannya. Karena Nabi adalah manifestasi dari ajaran Allah yang di sampaikan dalam bentuk tingkah laku. Bahkan Allah sendiri mensyaratkan kepada para hamba-Nya, bahwa untuk mencintai Aku (Allah), maka ikutilah Nabi, sebagaimana dalam firman-Nya yang berbunyi, "Katakanlah, "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." (QS. Ali Imran: 31).
Betapa mulianya engkau wahai Rasul, namamu bersanding dengan Asma` Allah yang paling agung, sehingga untuk meniti tangga cinta yang sejati harus melalui engkau terlebih dahulu. Wahai Rasululullah, sudah terlampau jauh kiranya kami melenceng dari gaya hidupmu yang tidak gila harta, tidak rakus, tidak licik, tidak culas, tidak khianat dan tidak mencekik. Engkau hidup sederhana, dermawan, penyabar, penyayang, pemalu, jujur, adil dan sifat-sifat lainnya yang jika kita gali satu persatu mungkin akan menghabiskan berlembar-lembar HVS. Oleh karena itu, di sini kita hanya akan memberikan kilas balik tentang empat akhlak Nabi yang menurut hemat penulis sangat dibutuhkan pada zaman sekarang ini dalam rangka menyehatkan dan mengawal moral bangsa dari kehancuran. Empat akhlak Nabi yang dimaksud adalah adil, jujur, penyayang dan pemalu.
Apapun profesi kita dan siapapun kita, jika benar-benar mengimplementasikan keempat akhlak tersebut, niscaya kedamaian akan bertaburan di seluruh pelosok nusantara. Keadilan Kita sebagai bangsa besar yang mengaku sebagai bangsa pancasilais dan religius, ternyata begitu rapuh moralnya. Banyak kebijakan dan keputusan mengandung muatan yang bertentangan dengan moral, penuh dendam dan saling menjatuhkan. Produk kekuasaan seharusnya mengalir kepada rakyat dalam bentuk keadilan, kesejahteraan, kemakmuran, dan ketenteraman.
Coba kita menengok konsep keadilan yang pernah dipraktekkan Nabi, Infinite Justice: sebuah keadilan yang tak mengenal sekat ruang, pelaku dan takaran sekaligus tidak mengandung unsur kecongkakan dan kedengkian (ghurur dan ghulul). Memang terasa aneh, anak tukang ojek maling ayam dihakimi, tapi pejabat yang maling duit negara (rakyat) dalam jumlah miliaran kebal hukum. Kedua jenis kriminal tersebut di mata hukum sama salahnya, tapi lebih salah lagi jika maling yang dilakukan pejabat dan dalam takaran yang jauh lebih besar daripada seekor ayam bisa lolos dari jerat hukum. Tidak habis pikir, apa karena pelakunya adalah pejabat ataukah karena malingnya di lingkungan kantor?
Diskriminasi hukum yang sedang menggejala dewasa ini, pernah juga dikhawatirkan oleh Nabi Muhammad pada saat menghadapi kasus pencurian yang dilakukan oleh Fathimah Al Makhzumiyah, putri dari kepala suku Al Makhzum. Beliau tetap menghukumnya meski mendapat amnesti dari Usamah bin Zaid, sahabat dekat Nabi. Sehingga menjelang sore beliau berpidato di depan para sahabat, ''Sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kalian semua adalah disebabkan oleh perbuatan mereka sendiri. Ketika salah seorang yang dianggap memiliki kedudukan dan jabatan yang tinggi mencuri, mereka melewatkannya atau tidak menghukumnya. Namun, ketika ada seorang yang dianggap rendah, lemah dari segi materi, ataupun orang miskin yang tidak memiliki apa-apa, dan rakyat biasa, mereka menghukumnya. Ketahuilah, demi Zat yang jiwa Muhammad berada di dalam kekuasaan-Nya, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, aku akan memotong tangannya.'' (HR. Bukhari-Muslim).
Akhirnya, Nabi tetap menghukum Fathimah Al Makhzumiyah, sehingga ia kembali ke jalan yang benar. Pada kasus lain, saat Nabi Muhammad sakit menjelang wafatnya, dengan istri yang jumlahnya 9, beliau tetap berupaya menunjukkan sikap keadilannya. Beliau meminta salah seorang sahabat agar menuntun dirinya untuk menggilir ke setiap istrinya. Beliau selalu memberikan apa yang menjadi hak seorang istri, hingga para istri Nabi merasa kasihan melihat kondisi Nabi dan mereka setuju dalam masa pengobatannya Nabi ditempatkan di rumah Aisyah. Keadilan yang dibangun oleh Nabi bukan sekadar memastikan bahwa pelaku kejahatan itu benar-benar diadili dan dihukum tapi juga untuk mengekang dan meminimalisir perbuatan kriminal. Kita bukan bermaksud untuk menyeret-nyeret zaman Nabi ke era moderen atau mempersoalkan hukum potong tangan dan praktik poligaminya, akan tetapi jauh lebih mulia dari itu, yaitu bahwa menjunjung tinggi kepastian hukum, mengusung keadilan yang inklusif-universal dan mementingkan kepentingan rakyat, keadilan bagi semua, adalah energi yang paling penting bagi kelangsungan sebuah bangsa.
Kejujuran "Ikhlas beramal" adalah salah satu slogan yang sangat akrab di telinga kita. Namun apakah kita bisa menjamin seseorang bisa benar-benar ikhlas dalam beramal? Kehidupan yang sudah diformat dengan gaya kapitalis, rasanya susah untuk mencapai derajat sufi yang satu ini. Orang betawi bilang, "Hari gini gitu lho, mane ade yang gratis alias ikhlas tanpa imbalan". Salah-salah dalam bibir terucap ikhlas dengan gaji yang telah ditetapkan, tapi buntutnya nilep. Ini lebih menyeramkan, karena kejujuran telah tergadaikan oleh kemunafikan. Komitmen kejujuran harus dijunjung tinggi bersama, baik di level negara, pemegang kekuasaan (stake holders), korporat, maupun masyarakatnya. Bahkan kelanggengan dan keharmonisan rumah tangga juga sangat tergantung pada tingkat kejujuran dan keterbukaan dari kedua belah pihak.
Betapa mahal harga sebuah kejujuran, sehingga Nabi SAW pernah berpesan, “Kamu sekalian harus bersikap jujur, karena sesungguhnya kejujuran itu dapat mengarahkan pada kebaikan dan kebaikan bisa mengarahkan ke surga dan seorang laki-laki yang terus menerus bersikap jujur dan berusaha untuk bersikap jujur, maka di sisi Allah dia tercatat sebagai orang yang jujur. Dan berhati-hatilah kamu dari kebohongan, karena kebohongan bisa mengarahkan kamu ke perbuatan keji dan perbuatan keji bisa mengarahkan kamu ke neraka dan seorang laki-laki yang terus menerus berbuat bohong dan selalu berusaha untuk berbuat bohong, maka di sisi Allah dia tercatat sebagai pembohong". (HR. Muslim) Kata siapa "Jujur itu Hancur"?. Pameo yang sering terdengar di tempat kita. Meski agak iseng, kondisi bansa kita tak jauh dari itu. Padahal, jika dicermati, kata-kata itu hanya cocok pada orang yang tamak.
Lihatlah Muhammad Rasulullah SAW. Kejujurannya sebelum didaulat menjadi Rasul, diakui oleh para musuhnya, sehingga mereka memberi julukan Al Amin (orang yang jujur). Khadijah, seorang pembisnis wanita yang sukses pada waktu itu, memilih Nabi sebagai pendamping hidupnya juga karena faktor kejujurannya. Oleh karena itu, dalam rangka menciptakan pemerintahan yang bersih (good governance), kita harus berani berkata yang benar walaupun bagi sebagian orang memang terasa pahit! tapi itulah yang seperti diajarkan Rasulullah SAW "Katakanlah kejujuran itu walaupun pahit rasanya.!" Walaupun risiko yang diterima adalah cemooh 'sok suci', pengucilan atau bahkan di-chutik- dari meja kerjanya, tapi itu lebih terhormat daripada kebusukan menjadi komoditas di balik kursi empuknya dan akhirnya terperosok dalam lingkaran kejahatan kolektif.
Cinta dan Kasih Sayang Rasa cinta merupakan salah satu naluri fitrah yang telah Allah SWT anugerahkan kepada makhluk-Nya. Curahan cinta yang berlebihan terkadang dapat mentolerir tindakan kriminal seseorang. Cinta yang demikian justru mengaburkan makna cinta itu sendiri. Karena cinta seseorang kepada sesuatu, meniscayakan dia berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi sesuatu yang dicintainya. Kita sayang pada tubuh kita, secara otomatis kita tidak akan menyentuh narkoba dan sejenisnya. Kita sayang pada lingkungan, berarti kita tidak mungkin membuang sampah di sembarang tempat atau membabat hutan secara liar. Kita cinta pada sesama manusia, maka sudah pasti kita tidak rela melihatnya kelaparan. Dan seterusnya.... Itulah kekuatan cinta (The Power of Love). Bisa dibayangkan, jika kuncup cinta bersemi di setiap sudut bumi pertiwi, maka tidak ada eksploitasi alam tanpa kontrol, tidak ada manusia saling memangsa dan menggilas. Nabi SAW pernah bersabda, “Sayangilah makhluk yang ada di bumi, maka para malaikat yang ada di langit akan menyayangimu". (HR. Tirmidzi).
Dengan musibah yang bertubi-tubi, apakah selama ini kasih sayang kita tertutupi oleh rasa dendam, benci, sombong, nafsu dan ambisi, sehingga penduduk langit sudah tak sayang lagi? Rasululullah SAW teladan kita, dikenal sebagai sosok yang amat penyayang, bahkan terhadap binatang dan musuh-musuhnya sekalipun. Dikisahkan pada suatu hari ketika Rasul berjalan pulang ke rumahnya, beliau melihat seekor kucing sedang tidur bersama anak-anaknya di atas jubah yang hendak dipakainya. Agar mereka tidak terganggu, lalu beliau menggunting bagian jubah yang ditiduri kucing tersebut dan selebihnya beliau pakai. Di tengah kesibukannya sebagai pemimpin, beliau tidak ingin melihat ada umat yang terluka hatinya, kecewa, sedih, marah, dan benci. Dalam sebuah hadits disebutkan, "Tidak sempurna iman kalian sehingga kalian saling berkasih sayang. Para sahabat berkata, "Kami sudah saling menyayangi." Lalu Nabi bersabda: "Bahwa sayang yang dimaksud di sini bukan saja sayang sekadar kepada salah seorang temannya, dalam ruang lingkup terbatas, tetapi sayang (yang dimaksud) adalah sayang yang bersifat menyeluruh." (HR. Thabrani).
Dan sejarah membuktikan, karena sifat penyayangnya yang begitu besar, mengakibatkan banyak orang kafir jatuh dalam pelukan Islam. Malu Allah SWT merasa malu, jika membiarkan kedua tangan hamba yang shaleh hampa. Malaikat merasa malu kepada Allah, saat menyodorkan catatan amal seorang hamba yang penuh dengan dosa. Dan ketika Mikraj, Nabi Muhammad merasa malu kepada Allah karena bolak-balik meminta keringanan jumlah rakaat shalat. Nah, sekarang giliran kita, seberapa parahkah kita terjangkit penyakit 'bermuka tebal'? Rasa malu yang seharusnya menjadi rem prilaku kotor kita, telah terkikis oleh sifat egois (mengejar kepentingan sendiri). Sehingga kebaikan menjadi terbalik 180 derajat, kejujuran kita cerca, sementara kepalsuan kita amini. Berjilbab dinilai kuno dan berkostum ketat yang terlihat pusarnya dianggap modis. Mematuhi sesuai prosedur dianggap menghambat kemajuan dan cara pintas kita anggap lumrah. Kelicikan kita bela, dan ketulusan kita jegal. Memang benar apa kata Nabi SAW, “Jika sudah tidak ada rasa malu, maka berbuatlah sesukamu." (HR. Bukhari)
Rasa malu yang sudah menjauh entah kemana, bisa membuat keimanan seseorang luntur, mata batin menjadi gelap dan Tuhan dianggap tidak ada. Na'udzu billah min dzalik. Mengundang rasa malu yang sudah terlanjur jauh, memang tidaklah mudah. Oleh karena itu, budayakanlah rasa malu untuk berbuat sesuatu yang merugikan, mengganggu dan merampas hak orang lain. Dan tanamkanlah rasa malu semenjak dini terhadap anak-anak dan murid-murid kita, yang mana mereka adalah tunas harapan bangsa. Sebagai penutup tulisan ini, kita sama-sama berdoa semoga dengan memperbaiki akhlak dan prilaku kita, serta menyadari kealpaan kita dalam meneladani Rasul SAW, kita akan mendapatkan kucuran rahmat dan berkah dari Allah SWT. Amin...
Ingat sabda Nabi yang berbunyi, ” Diantara kamu sekalian yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR Bukhari). Bahkan Buddha saja ada salah satu ajaran yang mengatakan, "Harumnya bunga tak dapat melawan arah angin, begitu pula harumnya kayu cendana, bunga tagara dan melati. Tetapi harumnya kebaikan dapat melawan arah angin: harumnya nama orang yang baik dapat menyebar ke segenap penjuru." Begitu pulalah dalam Islam, Wallâhu `A'lam bi Ash Shawab. [Penulis alumni Al-Azhar, Kairo]
Labels: Religious
posted by n.lestari @ 10:20:00 PM,